Senja Untuk Fajar
Cerpen Senja Untuk Fajar |
Oleh : Furqan Ar-Rasyid
“Ya, itu adanya malam kemarin !”
Hanya berselang satu malam saja Kau bercerita tentang hidupmu dalam resah dan galau. jangankan orang lain, Aku pun tidak pernah mau tau. Kalaupun mereka tau, toh mereka juga tetap tidak peduli padamu.
“percuma saja!”, hanya membuang waktuku saja untuk mendengar ocehanmu Fitr !, di malam-malam berikutnya Kau juga datang untuk mendendangkan lagu yang sama. Maaf, Aku sedang diluar ! Aku sibuk !.
“Malam sudah larut, sepertinya Kau belum mau
beranjak tidur?”
“Biarkan Aku Kak, bukankah Kakak tak pernah peduli
padaku?”
Angin malam menerpa wajahmu. Sejurus kemudian
perlahan mulai menyapu air mata yang tertoreh di pipi, menyisakan sebuah titik
di ujungnya. Kepedihan yang terpendam, perlahan menyeruak jatuh dan
meninggalkan bekas di atas tanah merah basah. Suasana langit malam hari, tak
satupun yang tau guratan kepedihan yang Kau jalani, begitu juga dengan
bongkahan bintang di angkasa raya. Bulan, walaupun dengan kesempurnaan
purnamanya. Apalagi manusia, mereka terbuai dalam mimpi dan hangatnya selimut tebal
di malam-malam yang dingin. Tiada yang tau, kecuali Aku, Dirimu dan Tuhan yang
maha tau !.
Lihatlah pada jalan di seberang sana !, bising
kendaraan, kerumunan orang-orang, sorak-sorakan Anak sekolah, teriakan sopir
angkot, mereka semua berusaha, untuk ilmu, diri dan keluarga, mengharap
secercah penghidupan yang lebih baik.
lihatlah dirimu sekarang ! Mengapa kalah
sebelum bertanding?”
Kuperingatkan, jangan terlalu bertumpu pada
yang putih saja. Tapi ukirlah titik-titik putih pada yang hitam. Jangan
menyesal telah memilih yang hitam. Apalagi membuangnya. Buatlah ia menjadi
putih!.
“Kau Tau maksudku Fitr?
Ibuku…”
” Ada apa dengan Ibumu Kak?”
“Dulu saat Aku kecil, Kami hidup serba
kesusahan, kejadian itu bermula saat Ayahku memutuskan untuk berpoligami, sebab
Ibuku tidak bisa memberinya Anak laki laki yang sempurna. Sementara Ayah,
beliau sangat menginginkan Anak laki-laki sebagai penerus usaha dagangnya,
tidak seperti diriku ini, yang cacat dan tidak bisa berbuat apa apa. Akhirnya
Ayah menikah dengan seorang wanita dari desa tetangga. Aku yang masih kecil
tidak tau apa yang Ibu rasakan saat itu. tapi terkadang, Aku sering melihat Ibu
menangis ketika Ia sedang sendiri di kamar”.
“Trus, apa yang kakak Lakukan?”
“Aku tidak tau harus berbuat apa, tapi Aku
dapat merasakan kepedihan yang Ibu alami”
“Truz, Ayah kakak gimana?”
“Ayahku… Beberapa bulan kemudian, Ayah
dikaruniai Anak dari Istrinya yang kedua, nasibnya tak jauh beda seperti Ibu.
Semua Anaknya perempuan, baru yang terakhir yang Kuasa menganugerahinya Anak
laki laki. Namun, ketika 10 bulan kelahiran Anak laki laki tersebut, Ayahku
meninggal. kata Ibu, Ayah pernah mengidap penyakit TBC karena dulunya Ayah
pernah menjadi buruh di sebuah pabrik semen. Menurut Ibu, Ayah adalah orang
yang paling baik, setia dan sangat menyayangi keluarga, bahkan ketika Ia
menikah dengan Istri kedua sekalipun, Ayah sering datang menjenguk Ibu, Ayah masih
tetap sayang sama Ibu, kadang mereka berdua bercengkrama dan kemudian sama sama
tertawa lepas. Pernah suatu ketika, Ibu bercerita tentang Ayah kepada Kakakku
sampai larut malam, sesekali Ia mencucukkan air mata, ya Air mata kebahagiaan.
Terkadang Ibu juga menangis, Ia merasa tidak bisa membahagiakan Ayah, karena Ia
tidak bisa memberinya Anak laki-laki yang sempurna” .
“Lalu, ketika Ayah sudah meninggal, bagaimana
keadaan Ibu?”
“Sejak Ayah meninggal, tak ada lagi guratan
kebahagiaan di wajah Ibu, tidak terdengar lagi cekikikan canda Ayah dan Ibu.”
Itu hanya sugesti kata-kata cinta sebelum Ayah pergi untuk selama-lamanya.
Mengapa tidak, pasalnya setelah Ayah meninggal Istri keduanya perlahan lahan
mulai menjauh dari keluarga kami. Anak-anaknya yang masih kecil itu Ia titipkan
pada Ibu, setelah itu Ia pergi entah kemana. Terakhir kabar yang Ibu dapat, Ia
telah menikah dengan juragan jauh di seberang desa. Ia menikah dengan Ayah karena
harta Ayah saja, semenjak usaha dagang Ayah bangkrut, ekonomi kami semakin
sulit, semua tanggungan tertumpu pada Ibu, padahal kerja Ibu cuma pedagang
asongan keliling dari rumah kerumah, kadang-kadang Aku juga ikut membantu Ibu,
yaa, walaupun dengan penghasilan seadanya. Tapi Aku sangat bangga pada Ibu. Ia
sanggup menghidupi Aku, kakak-kakakku, bahkan anak anak dari Istri kedua
Ayahku. Aku juga bangga pada Ibu karena Aku bisa seperti ini.
“Kau mengerti maksudku?”
Malam telah sempurna mengukir Fajar di ufuk,
Subhanallah, langit begitu Indah. Lihatlah kebawah untuk tahu siapa yang
melihat kita dari atas.
“Fitr… Coba Kau lihat Lelaki tua itu. Kulitnya
sudah keriput, renta, kurus, hanya onggokan tulang yang tersisa. Tapi Ia masih
tetap setia pada hidupnya yang hanya tinggal pada seutas tali yang sebentar
lagi akan putus digigit tikus. Malam-malamnya hanya bertemankan sepi, berbalut
kesendirian yang panjang, mengharap penghidupan yang lebih baik dalam doanya
pada akhir malam di atas sajadah lesuh.
Nafasnya kian berat ketika Ia harus menaiki
tanjakan yang ada di depan rumah, beruntung jika ada Orang yang lewat dan
membantu Kakek tua ini. Tapi jika tidak? Ia masih tetap harus melangkah tuk
menggapai tempat ibadah itu, walau tubuhnya tertatih menanggung usia. Hanya
sebuah tongkat dari kayu yang lapuk menjadi penuntunnya. sekali lagi, hanya
sebuah tongkat dari kayu yang lapuk!”
“Lalu mengapa Kakak menyalahkanku?”
“Tidak, tidak, Aku tidak menyalahkanmu, Aku
hanya mengingatkanmu. Manusia memang tidak bisa berkehendak! Kau ingat, ketika
Kau memohon pada orang- orang seminggu yang lalu, apa kata mereka ? Dengan
angkuh mereka berlagak seperti malaikat malaikat suci, yang katanya mau
membangun peradaban. Seolah mereka memberi, tidak merasa diberi. Bukankah
mereka manusia dan Kau juga manusia? Sama-sama makhluq ciptaan tuhan?”
“Lalu, apakah Kau tahu beda antara Kau, Aku,
dan Mereka di mata Tuhan?”
“Tidak, Aku tidak tahu..”
“Bohong! Kau pasti tahu!”
Itu hanyalah secuil kisah klasik manusia dari
segala zaman. Tak ubahnya seperti seutas tali tadi juga, di gigit tikus
katanya.
sudahlah, tak usah berdebat tentang manusia.
Tak ada gunanya untukmu. Bukankah lebih pantas Kau bangun lalu menunaikan salat
sunat Fajar? kemudian mohonlah pada tuhanmu. Ceritakan PadaNya tentang
masalahmu. Ikhtiarlah menjadi abdiNya. Bukan kepadaku! Ambillah dunia dan
isinya diwaktu Fajar, bukankah itu yang Kau mau?”
Kau masih duduk termenung menikmati indahnya
langit mengukir Fajar, dalam remang-remang cahaya bulan, sebentar lagi Azan
subuh berkumandang, pekik suara sang Muazzin akan saling sahut menyahut,
mendendangkan Asma Tuhan yang maha Agung, menyingkap segala rahasia Tuhan di
waktu subuh untuk menggapai sepucuk salam cinta dari Tuhan.
Akh.. Aku teringat kakek tua tadi.
Hari hari selanjutnya Kau ceritakan padaku
tentang hangatnya pelukan Ibu. Berkumpul bersama keluarga, karib kerabat dan
juga bersama orang orang yang Kau kasihi. Dan sekarang mereka membuangmu jauh
jauh.Katamu mereka kejam….
Aku bilang “Tidak!”
Kau bilang iya…
Aku bilang juga tetap “Tidak.”
Mereka tidak kejam. Justru karena mereka
sayang. Apakah Kau berpikir, dirimu sudah sempurna sekarang? Tidak Fitr, tidak.
Kau masih terlalu cengeng untuk sebuah puisi kehidupan ini. Jangan menyalahkan
Arus karena telah terombang-ambing olehnya, Jangan melawan arus. Ikuti saja
buaian arus. Pada air yang deras. Tapi, belajarlah untuk berenang. Menepilah
pada sisi kanan dan kiri, kemudian bergantunglah pada dahan dan akar pohon yang
kuat. Kau akan selamat Fitr…
” Tapi Aku tak Bisa Kak..?”
” Tidak Fitr, Kau bisa… Bahkan lebih dari
sekedar bisa. Hanya saja Kau enggan mencoba.. Bukankah berbuat sedikit lebih
baik daripada tidak berbuat sama sekali?”
“Cinta? Kau bicara tentang cinta? Cinta kepada
siapa? Kepada Tuhan Atau pasangan? Atau kepada Pasangan dibawah keridhaan
Tuhan? Atau malah sebaliknya??
Atau Kau malah belum mampu tuk bercinta
Cuiih……
Tak ada manusia yang sempurna. Dunia tak seluas
air mata. Ia membentang jarak. Bagi yang terpisah dan bertemu karena Tuhan. Ia
akan kembali. Garis tangan ada pada tuhan!
Langkah, pada kata kemana?
Maut, pada kata kapan?
Rezeki,pada kata apa dan di mana?
PERTEMUAN, pada lafadh dengan siapa?
“Fitr !” berhentilah untuk mencari cinta yang
semu, Cinta itu bukan untukku. Bukan juga untuk menyesali nasib bak isteri
diceraikan suami, padahal nanti malam Ia akan sangat kesepian. Atau pada
janji-janji yang telah terucap untuk bangsa dan negeri, bukan untukku.
Kukabari, Aku tak sempurna, carilah ia yang
lain !”
Lihatlah pada pohon beringin tua di sudut-sudut
jalan, jadilah Kau sepertinya yang dinaungi banyak orang ketika kepanasan.
Kalaupun Kau ditebang, robohlah sebagai pejuang. Sengaja kupilihkan untukmu
pohon beringin karena ia sangat rindang, serindang jiwa dan hatimu.
Fitr……
Selagi Kau masih muda !
******
Dar el Salam, Kairo 2009
0 Response to "Senja Untuk Fajar "
Post a Comment