MOU Helsinki dan Lintas Perdamaian
Oleh : Furqan Ar-Rasyid
Raas el Bar, Provinsi Dimyath, Kairo, Mesir, 20 Agustus 2009
Segala bentuk sengketa sudah seharusnya kita selesaikan sekarang juga, apapun
itu. Tidak hanya dalam tatanan politik atau perebutan kekuasaan dan daerah,
tetapi juga dalam tatanan Dien (agama), secara kita umat Islam, maka
mendamaikan itu sudah menjadi kewajiban kita. Konflik berkepanjangan yang
berlangsung di Aceh selama kurang lebih 30 tahun menyebabkan pemerintahan
Indonesia harus prah ie Reu’oh bingung bagaimana menundukkan pejuang-pejuang
Aceh yang seakan tidak habis-habisnya. Setelah bencana Tsunami melanda Aceh di
Tahun 2004 lalu, Alhamdulillâh, dengan izin dari Po Rabbi menghantarkan Aceh damai
dalam butir-butir memorandum kesepakatan antara RI(Republik Indonesia) dan
GAM(Gerakan Aceh Merdeka).
Kesepakatan damai ini tidak hanya dirasakan oleh mereka
yang tinggal di Aceh dan Indonesia saja, akan tetapi buah daripada perjanjian
ini juga dinikmati oleh masyarkat Aceh seantero dunia. Hasil memorandum yang
berlangsung di Finlandia ini membawa Aceh kepada titik sepakat antara
pemerintah RI dengan GAM untuk menghentikan perang, dan terus menjaga
perdamaian yang telah dibina. Tentunya kita sangat mengharapkan bulir-bulir
perdamaian ini agar aceh ke depan kian stabil, sambil terus memperjuangkan
nasib bangsa Aceh yang telah terpuruk selama bertahun-tahun.
Namun, tak dapat disangkal untuk sampai pada prosesi dan
kelangsungan perdamaian ini, telah mengundang pro dan kontra dari berbagai
komponen, khususnya dari kubu pemerintah Indonesia. Sebagai contoh yang paling
kecil misalnya kekhawatiran bahwa penandatanganan MOU Helsinki merupakan suatu
kesalahan terbesar pemerintah Indonesia, yang nantinya dikhawatirkan
menimbulkan efek domino yang akan mengancam integritas NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), seperti yang terjadi di Uni Soviet. Juga sebagian yang lain
menilai bahwa penandatanganan tersebut merupakan bukti kelemahan pemerintah RI
di mata dunia, yang secara sadar atau tidak Indonesia telah terjebak oleh
konspirasi internasional dan strategi global pemerintah asing yang bermain di
belakang layar.
Berbanding terbalik dengan kubu pendukung pemerintah RI,
ternyata sebahagian besar masyarakat Aceh sangat mendukung kesepakatan yang
ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 tersebut. Nah, ada hal menarik yang
ingin saya sampaikan di sini, ketika kita masyarakat Aceh dihadapkan dengan dua
pilihan utama, yaitu antara melangsungkan perang untuk merdeka atau memilih
damai tetapi tetap berstatus otonom dan masih dalam ruang gerak NKRI, maka
secara langsung atau tidak langsung kita akan memilih pilihan kedua. Mengapa
bisa demikian?
Hal pertama, mungkin yang terngiang dalam benak kita
adalah mengingat kondisi Aceh sendiri, artinya kondisi Aceh yang sangat
terpuruk akibat perang panjang selama beberapa kurun terakhir, hal ini jelas
dirasakan oleh masyarakat Aceh yang selalu digeluti rasa takut akibat musim
perang yang silih berganti. Terlebih lagi kondisi perang seperti ini berdampak
buruk pada mata pencaharian masyarakat dan juga sektor pendidikan. Masyarakat
kita sudah cukup menderita dengan hal-hal semacam itu. Kemudian pada opsi yang
kedua kita dihadapakan pada kenyataan yang jelas sudah dapat kita rasakan
sekarang ini, kondisi Aceh yang semakin kondusif dan pendidikan yang semakin
membaik, juga masyarakat yang sudah kembali kepada mata pencaharian mereka masing-masing,
juga perekonomian Aceh yang memulih setelah merosot begitu lama, semua ini pada
akhirnya ini semua juga mempengaruhi keadaan masyarakat kita dan peningkatan
SDM (Sumber Daya Manusia) Aceh pada umumnya.
Namun di sisi lain, ada juga kekhawatiran yang muncul dari
masyarakat Aceh terhadap perjanjian ini, walaupun mereka sendiri juga setuju
terhadap MOU tersebut, ketakutan itu bukanlah terhadap isi memorandum tersebut,
melainkan lebih dititikberatkan pada kekhawatiran akan pelanggaran perjanjian
yang dilakukan oleh kubu pemerintahan RI. Semua itu berbuah karena sikap kurang
amanah rezim pemerintahan RI terhadap Aceh sebelumnya, ya betul kata pribahasa;
karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Sekali berbohong, seumur hidup orang
takkan percaya. Semoga kali ini RI jujur dan berlaku adil.
Sekarang dan sampai 2014, Aceh telah mengutus duta-dutanya
sendiri untuk memimpin, kemenangan Partai Aceh dan Partai Demokrat dalam pemilu
2009, seperti dilansir banyak orang adalah kemenangan bangsa Aceh sendiri, artinya
kita telah menentukan pilihan kita sendiri untuk memimpin Aceh di masa yang
akan datang, kita sangat berharap siapapun yang duduk memimpin Aceh nantinya
benar-benar orang yang amanah dan mampu membawa Aceh dalam perubahan.
Ada sisi lain yang
mungkin layak kita ketahui selaku masyarakat Aceh, yaitu
ketika kubu-kubu partai nasional cenderung gelisah bila ada orang aceh yang
memimpin di pusat, padahal dari sisi lain meng-expose orang Aceh ke pusat
adalah salah satu cara menjadikan Aceh selalu diperhitungkan dan dihargai di
mata nasional, artinya kita berusaha mengirimkan orang-orang Aceh sendiri ke
pusat dan berbuat untuk rakyat di sana, lebih dari itu hal yang paling urgen
adalah untuk membuktikan kalau orang Aceh juga mampu untuk memimpin dalam literature
sebuah negara, namun peluang dan gerak langkah para duta Aceh ini terkesan
sangat ditutup-tutupi, sebagai buah kekhawatiran berbagai pihak di pusat jika
orang Aceh yang memimpin, kekhawatiran terwujudnya Aceh merdeka akan terbuka
lebar.
Salah seorang pakar pemimpin muda, pemerhati kondisi Aceh
yang saat ini tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Neelain
University, Sudan, Ust. Syarifuddin, MA. ketika kunjungan penelitian
disertasi-nya ke Mesir beberapa waktu lalu, yang juga sempat diwawancarai krue
buletin el-Asyi (buletin kekeluargaan Aceh di Mesir) seputar kondisi Aceh di
masa mendatang, beliau menjelaskan bahwa kondisi Aceh akan penuh dengan perang
dan pergolakan, beliau menafsirkan bahwa perang yang dimaksudkan disini
bukanlah perang dengan menggunakan senjata, tapi perang SDM, artinya Aceh akan
penuh dengan pergolakan potensial politik antara Aceh dan RI, baik untuk
kepentingan Aceh sendiri ataupun kepentingan RI. Menurut beliau pergolakan ini
baru bisa reda jikalau pemimpin Aceh benar-benar mereka dari kalangan yang adil
dan memperjuangkan nasib rakyat dengan semestinya bukan karena menginginkan
jabatan atau pangkat, akan tetapi lebih karena tuntutan keikhlasan dalam
berbuat dan membangun Aceh kembali.
Berangkat dari penafsiran beliau, hendaknya masyarakat
Aceh harus mampu untuk terus menata dan mempersiapkan potensi diri demi
kemajuan Aceh nantinya, baik mereka yang berada di Aceh sendiri maupun
masyarakat Aceh yang berada di luar negeri, tetap berjuang dan never give up.
Fenomenanya begini, kalau kita ingin melihat Aceh yang sebenarnya, jangan
melihatnya dari dalam saja, namun kita juga harus melihatnya dari luar.
Alhamdulillâh, sampai saat ini orang Aceh masih setia untuk Aceh, mereka ada di
setiap sudut-sudut perjuangan, ada yang di dalam Aceh adapula yang di luar Aceh
dan masih saling bahu membahu demi mencapai kejayaan Aceh dan tegaknya keadilan
di Aceh, kita akan terus berjuang dari dalam Aceh maupun luar Aceh.
Aceh lam brûk atau Aceh lam sangee, begitulah deskripsi
visual kalau kita hanya melihat Aceh dari dalam, lebih kepada intinya, artinya
segala hal yang terjadi di Aceh terkesan ditutup-tutupi oleh pemerintah
Indonesia di depan mata dunia. Sepatutnya, kita mensyukuri hasil apapun dari
memorandum di Helsinki, karena itu adalah bentuk dari usaha menghentikan
perang, bersama-sama kita akan terus menjalankan butir-butir perjanjian itu
dengan sebaik-baiknya. Intinya perjuangan Aceh kedepan tidak lagi harus
menggunakan senjata, tapi dengan persaingan politik yang bersenjatakan potensi
SDM yang kita miliki.
Bisa dikatakan, siapapun yang memimpin sekarang ini,
diharapkan dapat membawa perubahan bagi Aceh. Semoga kejayaan Aceh seperti masa
Sultan Iskandar Muda bisa kembali mengudara di langit-langit serambi mekkah.
Tugas kita dimanapun berada, baik dalam maupun luar negeri, kita terus berbuat
untuk Aceh semampu kita, kita terus belajar dan mengasah potensi, belajar dari
sejarah, belajar dari pengalaman, belajar dari konflik dan lain sebagainya,
tidak ada yang mampu merobah Aceh kecuali bangsa Aceh sendiri.
Setelah MOU, Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam ?
Sebagai tambahan, ada hal unik ketika kunjungan Gubernur
Irwandi Yusuf ke Jakarta beberapa waktu lalu, di hadapan publik beliau membuat
pernyataan, ketika nama Nanggroe Aceh Darussalam akan dihapus dan diganti
kembali menjadi Aceh saja, tanpa kata Nanggroe ataupun Darussalam. Alasannya
penggantian nama tersebut sebagai wujud nihil dari perjuangan mencapai
kemerdekaan selama ini, kata Nanggroe Aceh Darussalam yang pada awalnya bermakna
bahwa Aceh sebuah negeri yang berdaulat. Tentunya penamaan nama ini harus
sesuai syarat bagi sebuah Nanggroe yaitu berdaulat, sedang berdaulat hanya
didapatkan dengan kemerdekaan. Jadi apalah arti dari Nanggroe yang selama ini
diagung-agungkan akan tetapi Aceh tetap saja belum merdeka, sedang menurut
hemat saya penggunaan kata Nanggroe dan Darussalam diantara kata Aceh hanya
akal-akalan Indonesia saja untuk sedikit “menghibur” masyarakat Aceh yang telah
lama mengidamkan kemerdekaan. (furqan.id)
***
Furqan Ar-Rasyid
Mahasiswa Fakultas Syariah wal Qanun
Hp : +20108228956
Email : vhourkhan.vr@gmail.com
Alamat di Mesir : Sekretariat KMA (keluarga Mahasiswa
Aceh) Mesir. Ibrahim Naji St. Bld. 23 No. 16 10th District , Nasr City, Cairo –
Egypt 1152
0 Response to "MOU Helsinki dan Lintas Perdamaian"
Post a Comment