Media Belang-Belang

By : Furqan Ar-Rasyid*



Media Belang-Belang
Media Belang-Belang Oleh furqan ar rasyid
MEDIA BELANG-BELANGSampai detik ini Saya belum menemukan jawaban yang bisa membuat saya puas terhadap pertanyaan; Apa warna dasar dari seekor Zebra? Apakah warna dasar putih dengan belang hitam atau warna dasar hitam dengan belang putih?

Saya tidak tertarik dengan warna dasarnya, karena apapun itu tetap saja antara hitam dan putih. Titik fokus saya kali ini lebih kepada belangnya. Tentu saja kehadiran belang tersebut mempersulit kita menentukan jawaban apa warna dasarnya. Kehadiran belang tersebut justru membuat kita bingung untuk menjatuhkan pilihan.

Adakalanya kehadiran belang hanyalah sebagai pengecoh agar kita terus saling berdebat kusir, tanpa tau warna apa yang sebenarnya diperjuangkan. Apakah warna putih atau warna hitam. Lagipula tidak ada satu warna yang mendominasi. Maha Kuasa Allah menjadikan zebra begitu adanya.

Nah, Bagaimanakah jika seandainya ada yang namanya media belang-belang?
Bagaimana nasib media tersebut? 

Nyata sekali, media kita belum jujur pada jati dirinya. Hari demi hari bangsa ini disuguhi carut marut ketidakjujuran media. Konsumsi tersebut terkadang dengan mudah mampu membolak-balikkan opini publik. Seharusnya media yang menjadi simpul pemersatu masyarakat dituntut untuk bisa berlaku adil dan jujur. Alih-alih menjadi penengah, malah menjadi biang seteru antar masyarakat.

Begitulah realitanya, media dengan segala kekuatannya mampu menggenggam setiap informasi yang nantinya akan menjadi buah konsumsi masyarakat. Ketika itu terjadi, maka hampir tidak mustahil media akan jadi sutradara dalam proses bercerita kepada khalayak.

Belakangan, seperti yang banyak terjadi; simpang siur penyampaian informasi kepada masyarakat berujung pada sebuah kesimpulan: ‘ternyata media kita belum jujur pada jati dirinya’. Ini dengan jelas membuktikan bahwa media kita perlu ditata ulang, termasuk masalah keabsahan berita yang ada di dalamnya. 

Sebagai contoh, kondisi politik Mesir yang terus memanas dimanfaatkan oleh oknum media tertentu untuk melariskan dagangannya dan meningkatkan ketenaran setinggi-tingginya. Sengaja atau tidak, dikubu lain tindakan egois ini justru sangat merugikan masyarakat kita yang ada di sana. Apalagi sekarang ini permasalahan seteru salafi, sunni dan syiah sedang gempar-gemparnya terjadi di Mesir. Beberapa oknum justru sangat picik menjadikan ini moment untuk mendeskreditkan Al-Azhar berikut ulama-ulamanya.

Kenyataan lainnya adalah ketika tidak adanya sinkronisasi pemberitaan media dengan realita yang sebenarnya terjadi di lapangan. Media A memberitakan seperti ini; media B memberitakan seperti itu. Akibatnya akan terus ada pihak-pihak yang dirugikan. Belum lagi masyarakatnya yang dibuat bingung oleh ulah oknum-oknum media seperti ini. 

Inilah yang Saya sebut dengan media belang-belang.

Pun kalau kita lebih jeli, ternyata ada di antara media-media ini yang ‘saling serang’ satu sama lainnya. Mereka memanfaatkan mediasi yang ada untuk terus saling menjatuhkan dan saling menyudutkan. Intinya tetap sama selalu saja masyarakat yang akan dirugikan nantinya. 

Sebenarnya yang menjadi masalah utama bukanlah pada simpang siurnya, tapi lebih kepada identitas dan jatidiri medianya. Disini lebih jelas titik terang media mana yang nantinya akan menjadi pilihan masyarakat. Tentunya masyarakat nantinya yang akan judge sesuai sesuai sepak terjang media tersebut. 

Menurut penulis ada beberapa faktor yang menjadikan ketidakjelasan suatu media, pertama adalah orientasi dasar dari media tersebut, banyak hal yang mendasari lahirnya suatu media dan juga tujuan media tersebut. Tentu saja hal ini akan berbeda antara satu media dengan yang lainnya. Beruntung jika suatu media tetap istiqamah bergerak dijalurnya, akan tetapi jika sudah terbalik porosnya terkadang media berubah statusnya menjadi media belang-belang. 

Kedua, kita lebih menitikberatkan pada identitas media; adakalanya media tetap jujur pada jati dirinya sebagai media yang bergerak diruang yang real dan tetap memperhatikan batas akurasi demi kepuasan konsumennya. Namun adakalanya kita mendapati adanya media nakal tertentu yang mengabaikan aturan dasar tersebut. Media ini lebih terkesan hanya mengejar setoran atau meningkatkan popularitasnya ditengah suatu isu yang sedang hangat tanpa memperhatikan batas akurasi dan faktual suatu berita.

Faktor ketiga adalah karena media kita telah lebih mementingkan sikap egois tanpa solusi dan melupakan fungsi dasar dari media. Padahal kita semua tahu bahwa fungsi media yang utama adalah menjadi penghubung komunikasi antara dua pihak baik dalam pengawasan ataupun pencerahan, dalam hal ini kita beri contoh seperti hubungan antara pemerintah dan rakyat misalnya; selalu saja media berada ditengah-tengahnya.

Media yang merupakan simpul penengah dalam penyampaian informasi kepada masyarakat, seyogyanya bersikap adil dan lugas, artinya media tidak hanya sekedar menjadi corong pemerintah saja, tidak hanya menyampaikan pengumuman presiden saja, atau curhatan para menteri. Tapi benar-benar signifikan dan memberi pencerahan yang nyata kepada publik.

Kembalikan media yang bermartabat!


Sikap egois dan kecendrungan merosotnya sepak terjang media di tanah air ini adalah kenyataan yang mengharuskan kita untuk terus berbenah dan mencari solusi. Hal-Hal diatas tentunya sudah cukup menjadi bukti kekanak-kanakan media kita. Seharusnya kita terus menjadi dewasa dengan menghadirkan informasi yang benar-benar jujur dan solid. Bukan karena mengejar deadline, mengejar pamor atau mencari popularitas di mata masyarakat.




Maka jujur pada identitas dan jati diri merupakan solusi guna mencegah kesemrawutan ditubuh media akhir-akhir ini. Kalaulah suatu hal benar adanya media patut melakukan kebenaran itu, kalaupun salah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Intinya benar-benar lugas dan akurat, bukan media belang-belang yang suka mencampur adukkan kebenaran dan kesalahan.

Silahkan saja bertanya, kemana perginya kedewasaan kita? cukupkah sikap childish menjadi patokan sebuah media dalam bergerak? belum cukupkah carut-marut yang terjadi dimasyarakat karena ulah media? ataukah media telah hilang kendali karena kesenangan dan ketenaran sesaat tanpa melihat efeknya di masa depan? 

Untuk saat ini boleh saja kita berkilah dengan dialek begini dan begitu, akan tetapi model-model identitas media yang tidak jelas seperti ini; jika terus dipelihara lambat laun media kita akan tenggelam dalam kubangan. Seharusnya media dengan dengan segenap insan yang ada didalamnya dituntut untuk bersikap adil dan terpercaya. Ini sudah harga mati. Apakah lagi yang bisa dibanggakan dari sebuah media jika harga dirinya telah sirna dari kepercayaan masyarakat? 

Marilah kita sama-sama mencari solusi, bagaimana caranya kita meminimalisir perbedaan antar elemen media yang merupakan citra dari pendewasaan berbangsa. Sekiranya optimisme ini benar, tentunya menjadi kewajiban bagi kita untuk bisa saling memahami peran media dalam tubuh masyarakat serta mengubur dalam-dalam ego pribadi atau komunitas, sekaligus membuktikan bahwa media kita telah tumbuh dewasa dan bermartabat. Dan pada akhirnya secara de facto media akan bebas dari segala campur tangan egoisme dan kepentingan komunitas. Semoga!

*Penulis adalah mahasiswa Al-Azhar,  jurusan Qanun tingkat 5

0 Response to "Media Belang-Belang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel